Emerald Senja | Part I of KABAR dari SUNDARI
“Aku memang cantik, dan semua orang tahu itu.
Cantik … yes, itu adalah anugrah Tuhan yang Dia berikan untukku setelah apa
yang Dia ambil dariku”.
Waktu melesat tanpa bisa dikendalikan, Sundari
kecil kini tidak ada lagi. Terganti gadis remaja berusia17 tahun nan cantik
mempesona. Di usia remaja, Sundari harus rela menjalani hidup dengan kebohongan
dan kemunafikan. Rumah yang awalnya dia anggap sebagai Syurga, kini dipenuhi
lapisan dusta. Hari-hari Sundari banyak dihabiskan dengan luka.
Semua bermula ketika setan biadab itu menyapa.
Bagaimana bisa lelaki yang sangat dia hormati, lelaki yang dia patuhi, kini
tepat dihadapan Sundari, siap untuk menjamahnya, membelai pipi mulus milik
Sundari dipenuhi nafsu.
“Sundari, saya mencintaimu”
Dada Sundari berdegup kencang, panas … hatinya
sakit seperti tersembilu dalam ketakutan. Apa yang harus Sundari lakukan kini,
tak ada siapapun di rumah kecuali mereka dan si kecil Aresty.
Tangan laki-laki itu mulai menikmati lembutnya pipi
Sundari, mendekatkan bagian wajahnya pada Sundari, mencium wangi aroma tubuh
seorang gadis suci. Sundari dapat merasakan endusan napasnya, menjijikan.
Hati Sundari meringis ketakutan, dia nyaris tidak
percaya dengan apa yang ada dihadapannya. Bila saja si mungil Aresty tidak
memanggil Anjar dari lantai bawah, Sundari tidak tahu apa yang akan terjadi
pada dirinya. Beruntunglah Tuhan masih melindungi Sundari dari laki-laki
bertopengkan kain sorban itu.
~~~~~
Sepeninggalan Anjar dari kamar Sundari, dengan
keras Sundari membanting pintu dan segera menguncinya. Hatinya berteriak
terisak.
“Tuhan apa lagi? Mengapa Engkau lakukan ini
padaku? Apa salah dan dosaku? Aku takut Tuhan, sungguh takut. Apa yang harus
aku lakukan? Haruskah bilang pada Kak Tryana?”
Pertanyaan yang memantul pada dirinya sendiri.
Haruskah katakan pada Tryana? HARUSKAH KATAKAN PADA TRYANA?
Kabut hitam menguasai hati Sundari, beribu
pertanyaan berebut meminta jawaban. Kini angannya berandai-andai. Jika Sundari
mengatakan kejadian tadi pada Tryana, akankah sang Kakak menerima dan percaya
jika suami yang sangat dia cintai bisa melakukan hal sebejad ini? Seorang
laki-laki yang teranggap baik dan lumayan terpandang di lingkungan masyarakat
telah menjatuhkan wibawanya di hadapan Ipar sendiri. Mampukah Tryana menerima
itu semua? Bagaimana jika Tryana percaya pada Sundari, akankah Sundari rela
pernikahan Sang Kakak hancur? Ini akan menyakitkan untuk Tryana. Namun, jika
dia diam seolah semua tanpa masalah, ikhlaskah Sundari melihat Sang Kakak
terkhianati oleh laki-laki yang tak pantas mendapat ketulusan Tryana? Ini juga
akan menyakitkan untuk Tryana.
Sundari menangis sendiri dalam sunyi dan senyap.
Hanya raungan dalam batinnya yang dia mampu dengar. Terikan amarah dan makian
dia tujukan untuk dirinya sendiri.
Benaknya berontak, Sundari berteriak tanpa suara,
membanting segala apa yang dihapannya. Marah, marah pada Semesta yang
mengharuskannya melewati segala takdir yang dia benci. Mulai dari kehilangan
Ibu, Nenek, Rotan bambu … lalu, apa lagi ?
Dalam tangisnya, Sundari melihat Sang Ibu dan Nenak
tersenyum penuh luka padanya, seolah berkata “Ikutlah dengan kami Sundari”
Namun bayangan itu sesekali kabur lalu melebur bersama udara. Kepala Sundari
pusing, kemudian semua gelap.
~~~~~
“Kak, aku pamit berangkat Sekolah.
Assalamu’alaikum” Sundari mencium tangan Tryana.
“Wa’alaikumsalam, hati-hati ya … semoga harimu
menyenangkan”
Sundari pamit pada Tryana seperti hari-hari
sebelumnya. Namun, ada yang berbeda. Tak sedikitpun Sundari menoreh pada Anjar.
Rasa takut masih menyelimuti hati Sundari, bayangan sore kemarin masih terekam
jelas dalam ingatannya.
Disudut hati yang lain Tryana merasa ada hal yang
aneh dengan adiknya, segera dia tepis “Mungkin Sundari sedang teruru-buru,
untuk itu dia lupa salaman sama Mas Anjar”
~~~~~
Langkah Sundari telah jauh meninggalkan rumah,
berjalan menuju Halte. Gelisah bersemayam sejak kemarin sore. Sundari tak sudi
jika harus serumah dengar Anjar, kejadian kemarin cukup membuatnya muak pada
Iparnya tersebut. Tapi kemana lagi Sundari harus pulang jika bukan pada Tryana.
Sundari berbaur dengan keramaian pagi hari di kota
hujan, namun tidak begitu dengan hatinya yang selalu diisi kekosongan. Sundari
yang selalu kesepian.
“Tuhan, kemana aku harus pulang? Seandainya
Rotan bambu masih ada mungkin aku tak harus serumah dengan keluarga Kak Tryana,
dan semua tak akan pernah terjadi”.
Sepanjang jalan Sundari hanya melamun, pandangannya
kosong hingga tak sadar langkahnya telah melewati Halte tempat Bus berhenti.
“Dari … Hey, hey … Sundari”
Pria berseragam putih abu yang kebetulan duduk
dibangku Halte mencoba menyapa Sundari, tapi panggilannya tak menghentikan
langkah Sundari yang berlalu begitu saja tanpa menoreh pada sumber suara.
Untunglah sang pemilik suara tidak diam begitu saja, dia berusaha menyamakan
langkahnya dengan Sundari.
“Kamu … “ Sundari terkaget ketika ada
seseorang yang menemani langkahnya.
“Kamu mau kemana?”
“Sekolah lah, aku sedang menuju Halte” Jawab
Sundari dengan muka datar.
“Ya Tuhan, sejak kapan Halte pindah?“,
dialah Azzam teman Sundari yang juga hendak berangkat Sekolah.
“Emmmm ???? “ Sundari salah tingkah.
“Kamu kenapa?”
“Engga. Ya sudah ayo balik kanan!” Ajak
Sundari.
Meski mereka tak satu sekolah namun arah Sekolah
mereka sama. Hanya saja Azzam lebih dulu tiba di Sekolahnya dibanding Sundari
yang harus menempuh sekitar 7 meter lagi untuk tiba di Sekolah tetangga.
“Aku duluan yah, hati-hati jangan melamun entar
kelewat. Bye”
“Sip” Sundari tersenyum.
Azzam melambaikan tangan pada Sundari yang hanya
mendapat senyuman dari seorang yang dia panggil Dari.
~~~~~
Setibanya di Sekolah Sundari mampir ke kantin,
karena tak sempat sarapan di rumah. Bukan karena tak sempat sebenarnya, hanya
tak berselera jika harus satu meja denga laki-laki bertopeng itu.
“Mbak, saya pesan nasi goreng telor dan teh
manis hangat yah”
“Siap Neng”
Sundari mengetok-ngetokan handphone-nya pada
meja kantin, lagi-lagi pikirannya melayang entah kemana. Pandangannya kosong
menatap ke sembarang arah bagai mencari sesuatu meski dia sendiri tak pernah
tau apa yang sebenarnya dicari.
“Permisi … permisi … permisi Neng”
“Eh , Iya Mbak ada apa?”
“Ini pesanannya sudah datang. Jangan melamun
Neng, masih pagi” Senyum dari si Mbak penjaga kantin membuat Sundari juga
tersenyum. Manis.
“Iya Mbak, makasih ya .. “
Sepuluh menit berlalu makanan telah habis
dilahapnya.
~~~~~
Pukul 16.00 sore, biasanya Sundari telah tiba di
rumah dan menikmati film kartun bersama Aresty, tapi tidak dengan hari ini.
“Hey Sundari … “
“Iya ... ” Tanpa menoreh, Sundari tahu
siapa yang menyapanya.
“Rajin banget sampai bawa-bawa buku ke taman,
lagi baca apa sih?”
Fina … dia adalah anak baru di kelas XI Management
Marketing, yang tidak lain adalah kelas dimana Sundari menjadi Idola. Sikap
Fina yang so’ akrab dan langsung duduk begitu saja disamping Sundari, lantas
dengan kepo tanpa basa-basi melihat-lihat tumpukan buku yang tersusun rapi di
sampingnya membuat Sundari sedikit risih.
Murid bernama Fina mengambil buku yang sedari tadi
sedang dibaca Sundari, lantas membaca judul buku tersebut dengan keras dan penekanan
yang jelas “REFRESH YOUR MIND”.
Sundari segera meraih buku yang kini ada di
genggaman Fina. Dia tidak suka diganggu, apalagi dengan orang asing seperti
Fina. She just know her name, not more.
“I know what you’re thinking now”.
“Emmm?” Kening Sundari sedikit berkernyit,
pertanda tidak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan lawan bicaranya.
Dari sisi lain terlihat Sarah, salah satu teman
yang lumayan dekat dengan Sundari. Memperhatikan mereka dari jauh.
“Sedang apa Sundari bersama Fina?”, pertanyaan
yang hanya terdengar oleh semilir angin di taman.
Sarah merasa bingung karena dilihatnya Sundari
begitu akrab berbincang dengan Fina sang anak baru yang menurut Sarah, dia
berbeda. Sementara seingat Sarah, Sundari bukanlah seorang yang terbuka apalagi
jika bukan dengan orang-orang terdekatnya. Jangankan dengan Fina seorang yang
jelas-jelas teranggap asing oleh Sundari, pada dirinya saja Sundari seolah
menutup-nutupi sesuatu. Ketika mereka saling berbagi cerita, tak jarang Sundari
menghentikannya ceritanya tiba-tiba. That’s weird bagi Sarah.
Sarah bermaksud untuk menghampiri Sundari namun dia
mengurungkan niatnya ketika salah seorang Guru memanggil dia dan harus segera
meninggalkan Taman.
~~~~~
Di satu sudut berlatarkan hijaunya emerald yang
selama ini menjadi tempat favorit Sundari, tidak terasa waktu telah menunjukan
pukul lima sore saat senja mulai terlihat. Terdengar sebuah akhir percakapan
antara dua gadis berseragamkan putih abu itu.
“Deal?”, Fina menjulurkan tangannya pada
Sundari.
“Deal!”, sambut Sundari dengan wajah
bersahabat.
“Baiklah mulai sekarang kita berteman … “, ucap
mereka bersamaan, lantas tersenyum lepas.
Kini semesta pun akan mengenang bagaimana awal mula
persahabatan ini terjalin. Untuk selanjutnya, di detik-detik yang akan datang
babak baru akan segera dimulai.
Komentar
Posting Komentar