Apa yang Membuat Berbeda?
Jika
aku terlahir tanpa adanya pengakuan seorang Ayah, lantas Ibu yang melahirkanku
teranggap gila, apa itu salahku? Apa itu dosaku? Apa harus aku yang menanggung
akibat dari semua sebab yang belum bisa dimengerti ini?
Hey!
Aku bocah biasa sama seperti kalian. Ingin bermain, bercengkrama dan memiliki banyak
teman. Siapa yang mau hidupnya terisolasi bahkan di usia yang teramat kecil
seperti diriku?
Aku
terlahir ke dunia ini, bukan inginku bahkan mungkin juga bukan keinginan dari
Ibu dan Ayahku. Tidak apa. Tidak mengapa. Tapi ketahuilah aku terlahir ke dunia
ini karena Tuhan yang menginginkannya dan Tuhan memiliki alasan atas
keberadaanku.
Awalnya
aku tidak mengerti maksud dari perkataan kalian, bahkan kalian pun tidak paham
dengan kata yang terlontar dari mulut kalian. Ya ... kita sama-sama tidak
mengerti akan beribu kata yang kalian tujukan pada aku dan Ibu.
Ibu kamu gila! Kalimat
itu. Kalimat itu yang pertama kali terdengar saat mencoba berbaur dengan
kaki-kaki mungil kalian. Tahukah, Ibu melarang keras saat aku melangkahkan kaki
keluar rumah. Namun aku tidak peduli, langkah kecilku terlalu gregetan melihat
indahnya mentari pagi di balik pagar besi yang menjulang tinggi.
Kalian
menatapku penuh heran. Kenapa? Apa aku berbeda? Apa bedanya? Aku punya mata,
kaki, telinga dan yang lainnya. Sama seperti kalian. Lantas, apa yang membuatku
berbeda?
Salah
satu dari kalian dengan polosnya berkata “Ibu kamu gila” aku pun merespon
dengan tanggapan yang tidak kalah polos “Hahaha” Tertawa. Ya, aku tertawa
karena aku tidak mengerti. Dan kalian pun tertawa. Kita tertawa bersama menertawakan
Ibu yang gila.
Tuhan
tahukah Engkau betapa bahagianya saat aku diterima ditengah malaikat-malaikat kecil-Mu
yang lain. Tidak bisa dijelaskan kebahagiaan ini. Kebahagiaan diterima oleh
lingkungan. Tapi satu hal yang belum jua aku mengerti, mengapa mereka berlarian
saat ibu hendak menghampiriku dan berkata “Ada
orang gila! Kata mamah dan bibi wanita itu gila” Ah ... sudahlah besok-besok
aku akan mulai mengerti. Gila, apa
itu gila.
Setibanya
di rumah, aku bertanya pada Ibu apa arti kata ‘gila’ lantas menceritakan semua
pada Ibu. Tentang satu persatu temanku. Tentang bahagianya memiliki banyak
teman. Tentang menyenangkannya menikmati udara pagi di desa ini dan tidak lupa
bertanya mengapa sebagian temanku berkata Ibu gila.
Ibu
... lidi inikah yang menjadi jawaban dari pertanyaanku? Kemarahan Ibu adalah
jawaban dari pertanyaanku? Larangan kembali bermain bersama teman-taman baru?
Apa semua adalah jawaban dari pertanyaanku? Tidak Ibu! Jelaskan lebih jelas
lagi! Aku tidak mengerti. Aku ingin tahu apa itu ‘gila’.
“Sudah Ibu bilang jangan bermain di
luar rumah! Tidak ada gunanya berteman dengan mereka. Anak-anak di luar sana
tidak baik untukmu, mereka hanya akan mengejekmu dan Ibu. Bermainlah dengan
robot-robot itu! Dengarkan! Mainan ini tidak akan menyakitimu, berbeda dengan
mulut-mulut liar mereka”.
Tidak
Ibu! Usiaku tidak cukup paham akan semua perkataan Ibu. Aku ingin mengenal
lingkunganku. Belajar banyak karakter dari setiap orang yang aku temui agar
kelak aku bisa memahami Ibu. Mainan ini memang tidak akan menyakitiku. Tapi
ketahuilah, mainan ini juga tidak akan memberi makna apapun, apalagi makna
hidup. Tidak ingin selamanya berteman dengan benda mati.
~~~~~
Setiap
pagi aku keluar rumah tanpa mempedulikan ocehan Ibu. Sungguh aku tidak peduli.
Hidupku tidak untuk terkurung di balik tembok berpagar besi itu. Aku berhak
atas duniaku.
Sekarang tanpa Ibu menjelaskan, aku telah mengerti apa arti dari kata ‘gila’. Lihatlah! Lingkungan mengajariku banyak hal bahkan tanpa terucap lisan. Dari lingkungan hidup yang baru aku kenal beberapa waktu terakhir ini, sedikit banyak telah menambah pengetahuanku. Banyak hal yang aku dapatkan.
Jangan
membenci teman-temanku Ibu. Jangan bersumpah serapah atas mereka. Mereka
teman-temanku. Bersama mereka aku bisa tertawa. Bersama mereka aku bisa
merasakan masa kanak-kanak yang sejak lahir terenggut istilah isolasi sosial. Ibu
... tahukah Ibu? Mereka sama sepertiku yang tidak mengerti apa yang didengar
dan diucapkan. Kami hanya meniru. Meniru perkataan orang dewasa. Mempraktekan apa
yang kami lihat.
Di
usiaku yang akan menginjak 4 tahun, boleh aku mengenal luasnya dunia? Izinkan
aku Ibu! Besok lusa jika aku telah belajar banyak, akan aku hapus segala lelah
dihatimu.
~~~~~
Dari
cerita pendek di atas kita bisa mengerti. Anak-anak berkata begitu polos tanpa paham
makna dari kalimat yang mereka lontarkan sendiri. Mereka hanya meniru apa yang
mereka dengar tanpa ada maksud untuk menyinggung atau menyakiti hati seseorang.
Maka berhati-hatilah ketika berbicara di depan anak-anak, karena mereka adalah peniru
pembelajar yang cerdas.
Setiap
anak yang terlahir ke dunia ini mempunyai hak yang sama tanpa harus terisolasi
atas kesalahan orang tuanya. Mereka Malaikat-malaikat kecil yang perlu akan
kasih sayang.
Satu
lagi! Lingkungan sosial begitu penting bagi tumbuh kembang setiap anak.
Komentar
Posting Komentar