Kembali Ketitik Awal
Semua kepenatan perlahan pudar terkikis waktu. Hujan air mata telah berganti senyum menghias dunia. Kesakitan purna menjelma cahaya. Awan tak lagi mendung. Mentari telah kembali bersinar. Senyum merekah indah di garis wajah nan ayu. Waktu telah mengembalikan diriku.
Kini izinkan aku merangkai kata karena
mengingatmu, sekedar mengingatmu, sekedar menulis kisah untuk keabadian jika
benar pernah ada rasa. Bukan karena merindu.
Cinta saja tidak cukup menyatukan dua insan yang
saling mencintai. Tidak cukup hanya sekadar saling memiliki rasa. Untuk apa saling
mencinta dan saling memilki rasa jika yang tercipta justru duka? Sulit dijelaskan
namun begitu adanya. Dua hati yang saling memiliki rasa namun selalu saja ada
yang terluka. Itu kita.
Berlarut-larut dalam asa yang terlanjur mengakar
di hati. Sulit lepas dari segala bayang dan angan. Setiap detik, menit, jam dan
dalam ribuan hari terjebak dalam dimensi yang tak dimengerti, berisi sesak,
gelisah, rindu, cemburu dan banyak perasaan lain yang tak memiliki nama.
Berusaha bangkit, berusaha keluar dari segala
kegelapan asa walau harus berjalan tertatih dan berteman luka. Mengikis yang
terpatri, menghapus yang terukir, sungguh sulit namun bukan berarti tidak bisa
dilalui. Ketika langkah demi langkah terasa berat dan cadas, kembali hati
meneguhkan diri jika banyak yang menanti kembali.
Kalau bukan kita sendiri yang mengakhiri, lantas
siapa? Cinta dalam luka sungguh tidak elok. Cinta ini selalu menyimpan penat
akan rindu menggebu yang tak bisa terucap. Cinta ini telah membuat kita saling
menahan rasa. Cinta ini telah membuatmu bimbang juga membuatku merana. Cinta
ini telah membuatmu gundah dan membuatku terpenjara dalam sepi.
Rasa yang indah pernah tersemai di hati. Kita
pernah tersenyum akan alasan yang sama. Sanjunganmu pernah membuatku tersipu
malu. Tatapanku pernah membuatmu ingin kembali, begitupun sebaliknya. Puja dan
puji serta nyanyian cinta pernah membuat kita mengitari lautan rasa dengan
binar mata penuh asmara.
Rasamu rasaku pernah saling menentramkan. Suaramu
pernah meneduhkan hatiku. Tawaku pernah menjadi tawamu. Tentangku tentangmu sempat
tertulis di kertas yang sama. Namaku namamu pernah Tuhan satukan dalam skenario
yang kita perankan. Cintamu cintaku pernah saling mengisi kekosongan. Meski tak
pernah terucap, namun bisa dirasakan.
Seorang pendiam seperti aku yang tak pandai
merangkai kata dan kamu yang selalu mendadak bisu membuat semua kata cinta beku
sebelum sempat kamu ucap padaku, membuat rasa yang ada menjadi tidak pernah
memiliki nama namun tetap bisa kita rasakan kehadirannya. Aku tahu kamu
mencintaiku, kamu pun tahu aku memiliki rasa untukmu meski tak berujar kata.
Namun, sadarkah kita, jika jiwa ini telah
sama-sama lelah menerka tanpa kata, membuat kita sama-sama meragu akan
kebenaran rasa ini. Hingga kemudian Tuhan hadirkan tokoh lain disaat kita
tengah berusaha mengumpulkan kata dan keberanian, namun tetap tidak bisa terucap.
Lalu perlahan tokoh yang dihadirkan Tuhan itu menjelma menjadi bagian dari
cerita kita, menyempurnakan alur dan plot dalam cerita ini. Tokoh yang
membangunkan kita dari segala rasa yang penuh teka-teki dan dari semua ketidak
jelasan yang menyiksa.
Tokoh yang bisa siap segera menemanimu mengitari
waktu tanpa perlu banyak berujar kata. Tanpa
harus membuatmu bersusah payah merangkai kata. Tokoh yang tidak pernah
membuatmu mendadak bisu. Tidak seperti aku yang selalu membuatmu sulit bicara.
Tidak seperti aku yang selalu membuatmu kehilangan kata-kata. Tidak seperti aku
yang tak pernah bisa melerai keterbataanmu dan menuntunmu berujung kata. Sampai
saat ini pun aku tak mengerti apa yang membuat kita sulit untuk sekedar bicara
dan ungkapkan rasa.
Perlahan, kamu terperangkap dalam cintaku dan
cintanya. Membuatmu bimbang ketika mengingat senyumku dan mengingat kasihnya.
Mengingatku yang selalu tersipu malu juga mengingat dia yang pandai
mengekspresikan rasa. Bimbang akan rindu yang ada di hatimu, entah rindu
untukku atau untuknya.
Bukankah semua itu menyiksa? Bukankah cinta kita
tidak indah? Bukankah jika terus begini akan ada luka? Bukankah cintaku selalu
membuatmu bingung? Bukankah kamu lelah menyimpan kata? Dan bukankah aku juga
lelah menunggu kalimat indah yang tak kunjung terdengar darimu? Bukankah kita
telah sama-sama jenuh menerka semua rasa yang tidak memiliki nama ini. Semua
sangat menyiksa.
Kita sudah terlalu lama saling mencintai. Namun,
juga terlampau lama saling diam tak angkat bicara tentang cinta. Kasih, semua
tak akan pernah abadi, semua akan sirna, semua yang fana akan binasa. Begitu
pula dengan kisah dan kasih tentang kita. Kisah kasih yang tak memiliki nama.
Aku ingin bahagia, aku pun ingin kamu bahagia
tanpa bimbang akan rasa cinta yang kamu miliki untukku dan untuknya. Tidak
ingin rasanya melihat ada yang terluka. Maka, kita akhiri semua ini. Semua
tentang cinta dan luka. Kita berhak bahagia meski tak bersama.
Namamu pernah terukir di hati ini, begitupun
namaku pernah menjelma rasa dalam hatimu. Tentang kamu dan aku. Tentang aku dan
kamu biar saja menjadi cerita di balik cerita yang baru.
Maafkan aku yang tiba-tiba menghilang. Aku tidak ingin
membuatmu selalu bimbang, tidak ingin membuatmu terlalu lama dan terjebak dalam
cinta untukku dan untuknya. Ingin rasanya kita sama-sama bahagia meski tak
bersama. Tetaplah disana dan lanjutkan kisahmu, biarkan aku yang berjalan
mundur, kembali pada titik awal dimana rasa bukan milik kita.
Komentar
Posting Komentar