ASMA NADIA


Suka menulis tapi tida suka membaca. Loh?

Begini jadinya jika itu terjadi.

Siapa gerangan Asma Nadia? Dia telah mencuri hati seorang pria yang say kagumi. Dan membuat saya patah hati.

Masa SMK. Masa paling indah bagi pecinta. Masa dimana dunia terasa warni-warni bagai pelangi. Masa yang penuh keindahan. Masa-masa remaja.

Saat itu saya masih duduk di bangku SMK kelas XI. Seorang siswi biasa yang tidak banyak dikenal di lingkungan sekolah dan terbilang pendiam.

Lain dari pada yang lain untuk urusan percintaan rasanya tidak ada di masa putih abu yang saya lewati. Tidak ada cerita cinta yang menguntit dalam kisah tiga tahun yang lalu itu. Tapi setelah diingat-ingat lagi ternyata saya pernah patah hati sewaktu SMK dulu. Dan itu berarti saya pun pernah Jatuh cinta sebelum patah.

Setelah satu tahun lulus SMK, dan bertemu sahabat yang baru pulang dari rantau kami bercerita ini itu layaknya seorang gadis. Obrolannya tak jauh-jauh dari masalah asmara, cinta, laki-laki dan ujung-ujung kisah gegana, alias gelisah galau merana.

Dengan tetap mengemil sistik di toples dan hanya mengangguk-angguk saja ketika sahabat saya berbicara sampai pada titik akhir kisahnya. Akhirnya saya terpancing untuk menceritakan sesuatu. Sesuatu yang tak pernah seorangpun tahu termasuk sahabat satu SMK selama tiga tahun bahkan satu bangku pula.

“Ceritaku sudah selesai. Now, giliranmu!”

“Aku? Mana bisa aku menceritakan tentang asmara. Sampai detik inipun aku tak pernah merasakan bagaimana indahnya memiliki kekasih”

Are you sure? Sampai sekarang kamu belum pacaran juga? Ya Tuhan, aku kira masa jomblomu akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa SMK”

“Hehe. Entahlah aku saja bingung. Mungkin nanti setelah menikah baru aku akan tahu bagaimana rasanya pacaran. Pacaran sama suami. Hihi” Jawaban yang membuat saya geli sendiri.

“Kuno banget sih. Kok ada ya hari gini wanita seperti mu. But ...  you keep my best friend. Walau begitu, setidaknya kamu pernah jatuh cinta, kan?

Saya mengangguk memberikan jawaban.

“Baiklah ceritakan kisah cintamu!” Permintaannya seperti memerintah saja. Hemm.

Baiklah saya akan ceritakan tidak hanya untuk sahabat saya saja. Namun, saya akan ceritakan pada kalian semua. Hehe (Mikir dua kali, emang kalian mau baca kisah ini gitu? Ah biar saja saya akan tetap bercerita).

*****

Saya tidak tahu ini cinta atau apa. Mungkin suka. Namun yang jelas detak jantung ini selalu berantakan dan tak berirama ketika tak sengaja berhadapan dengannya. Lutut ini terasa lemas jika mata kami bertemu. Tangan ini panas dingin jika dia tersenyum, dan ah ... konyol sekali rasanya. Seperti orang bodoh. Namun, semua terasa indah. Ya, sangat indah. Gelisah siang malam tapi bibir ini selalu tersenyum saat mengingatnya. Mungkin benar jika ada yang bilang love is a sweet torment.

Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, tetap begitu. Jalan di tempat, tidak ada kemajuan. Hanya memandangnya dari jauh. Memperhatikannya diam-diam. Meng-stalker-nya menjadi rutinitas di sela-sela jam istirahat. Hari-hari tidak akan berlalu tanpa melihat postingan-postingan terbaru di facebooknya. Sebut saja dia Pampam.

Terus dan terus mencerna setiap status yang dia tulis di akunnya. Tidak ada yang aneh dan tidak ada postingan-postingan nyampah tak jelas. Tak ada postingan-postingan tentang cinta yang di gembor-gemborkan dalam ke-alay-an seperi banyak remaja di waktu itu. Semua postingan-postingannya selalu tentang yang baik-baik dan penuh motivasi. Dan, ah ... sungguh Pampam Pamungkas telah mencuri hati ini.

Hingga suatu ketika sebuah ketidak sengajaan membuat jantung ini berdebar dua kali lipat lebih kencang dibuatnya. Siang hari yang meneduhkan hati. Ketika hendak ke Perpustakaan Daerah (PUSDA) dari jauh mata ini melihat Pampam tengah berdiri dan memainkan ponsel ditangannya tepat di depan tangga yang harus saya lalui. Sosok yang kehadirannya selalu ditunggu namun juga dihindari. Pokoknya sulit sekali di jelaskan, rindu namun malu jika bertemu.

Dalam hati sudah komat-kamit tak jelas sampai diri sendiri pun tidak mengerti apa yang di gumamkan hati kala itu. Semoga saja Pampam tidak mengenali diri ini (Saya sendiri bingung, bagaimana bisa berdo’a agar tidak dikenali, padahal bukankah saya suka. Membingungkan bukan? Itulah cinta. Mungkin cinta monyet. Eh, cinta manusia kok. Serius deh. Hehe).

Oh Tuhan, hati ini rasanya meleleh. Do’a kali ini tidak disambut oleh-Mu. Dengan senyumnya yang nyaris membuat hati terbang, Pampam menyapa dengan penuh kharisma.

“Jessi yah?” Tanyanya dengan sebaris senyum nan manis.

“Iya. Kak Pampam yah?”

“Iya. Mau pinjem buku?”

“Emm iya” Jika waktu itu bisa bicara lebih banyak, mungkin akan ada banyak kata yang keluar dari mulut ini. Sayangnya semua kata tersendat di tenggorokan.

Karena kami sama-sama suka menulis sastra, maka obrolan kamipun tak jauh dengan dunia tulis menulis. Namun jujur saja saat SMK saya tidak suka membaca. Hanya suka menulis. Loh? Bagaimana bisa menulis tanpa membaca? Ya ... itu adalah kebodohan tempo lalu. Jika ke PUSDA hanya buku pelajaran yang dipinjam, itu pun dipilah-pilah bab yang harus dipelajari saja.

“Oh iya. Eh ... gimana mau ikut FLP?”

Walaupun kami tidak saling mengenal dan mungkin dia ragu-ragu untuk sekedar menyapa bila tak sengaja bertemu di koridor sekolah, takut salah orang mungkin. Jadi selama ini jika tak sengaja berpapasanpun tidak pernah saling menyapa. Lain halnya dengan diri ini. Saya tidak akan salah orang, hanya saja “malu” menyapanya duluan. Hehe. Harap maklum namanya juga perempuan. Jadilah siang hari di halaman PUSDA itu adalah untuk pertama kalinya saya dan Pampan saling menyapa langsung, bukan lagi di sosial media. Ea .....

Sampai lupa jika dia memang pernah mengajak untuk gabung di FLP Cianjur lewat chat. Namun, saya tidak mengiyakan. Sudah saya katakan saya orang pendiam yang tak suka keluar rumah jika bukan urusan sekolah dan hanya bersama sahabat-sahabat saja. Walau Pampam adalah pria yang saya suka, namun mengiyakan tawarannya bersama-sama mengikuti FLP bukanlah pilihan.

“Untuk sekarang sepertinya tidak, mungkin nanti” Berusaha tersenyum semanis mungkin.

“Mmm gitu. Tapi masih tetap suka nulis, kan?

“Iya suka kok. Oh ya. Aku keatas dulu yah, mau pinjem buku. Permisi, Assalamu’alaikum.” Sungguh tidak sopan mengakhiri pembicaraan lalu berlalu begitu saja. Namun, tidak tahu kenapa saya merasa harus segera berlalu sebelum lutut ini rontok di depan kakak kelas yang penuh kharisma itu.

“Wa’alaikumsalam” Jawabnya.

Setelah tiba diatas dan bertemu sahabat yang telah lebih dulu ada di perpustakaan, saya histeris tiada tara.

“Waaa ... Restu, tahu tidak? Barusan di bawah aku ketemu sama Pampam. Huuuu .... sumpah demi apapun saat ini aku gemeter. Senangnya bertemu pujaan hati.”

Seorang pendiamkah saya? Ya. Memang pendiam namun tidak berlaku jika bersama para sahabat.

“Cie-cie yang lagi kasmaran.” Restu tidak ada habis-habisnya menertawakan.

“Huh untung saja tadi aku tidak kumat, masih bisa mengontrol detak jantung ini dan tidak membiarkan lututku reyot. Hahaha. Jika tidak wajah ini mungkin berubah merah. Huh, sungguh memalukan bila itu terjadi”.

*****

Sampai sesuatu terjadi dan membuat saya patah hati.

Hari-hari berikutnya, seperti biasa meng-stalker akun facebook Pampam adalah menjadi sesuatu yang sulit ditinggalkan. Hingga membaca sebuah status yang membuatku cemburu "I love Asma Nadia. Sungguh saya mengagumi Asma Nadia" Oh Tuhan, dia telah punya pacar dan namanya adalah Asma Nadia. Pikir saya kala itu.
Ingin rasanya saya cari tahu siapa Asma Nadia. Cantikkah dia? Cerdaskah dia? Istimewakah dia? Sampai membuat seorang Pampam jatuh cinta dan bahkan berani menulis cinta-cintaan di akun facebooknya? Padahal selama yang saya tahu, tidak pernah satupun postingannya bertuliskan cinta-cintaan. Asma nadia telah merubah Pampam.

Saya patah hati. Kisah Cinta atau suka-sukaan ini musnah begitu saja. Saya putuskan untuk tidak mencari tahu siapa Asma Nadia dari pada nantinya akan lebih patah hati setelah mengetahuinya lebih jauh.

Cerita tentang Pampam berlalu begitu saja. Toh dia telah lulus SMK. Mungkin jauh disana Pampam telah melanglangbuana mengejar sang pemilik hatinya ‘Asma Nadia’.

*****

Ketika Penulis Jatuh Cinta. Dan ... ah, terlalu banyak pertanyaan di pikiran ini ketika melihat sebuah buku berjudulkan ‘Ketika Penulis Jatuh Cinta’ berjejer di antara buku-buku yang tertata rapi di rak perpustakaan daerah itu. Hal yang membuat saya terkejut ialah ‘Asma Nadia’ dkk, tertera di sampul sebagai nama penulis buku yang saat itu saya pandangi. Siapa? Siapa? Siapa Asma Nadia? Mengingatkan pada sosok Pampam.

Akhirnya saya meraih buku yang berjudul ‘Ketika Penulis Jatuh Cinta’ itu, dan membacanya. Ketika membaca helai demi helai halamannya seolah mengantar saya  kembali pada sosok Pampam. Asma Nadia, ternyata dia seorang penulis yang memang cantik, cerdas dan istimewa. Tidak salah jika Pampam jatuh hati padanya.

Sejak saat itu bukan hanya Pampam yang jatuh hati pada sosok perempuan bernama Asma Nadia. Saya pun dibuat jatuh hati olehnya. I love Asma Nadia.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESEPSI!!! What the hell?

MengASIhi Khalisa

Ramadhan ke 2