DUNIA SEMENTARA (Harta Tahta & Wanita)






Oleh: Yessi Nh.

“Kamu yakin ayahmu hanya pura-pura sakit?”
“Mungkin memang sakit, tapi aku rasa sakitnya tidak separah itu”
Dia telah menghancurkan hati Ibu, dia telah membuat Ibu jatuh sejatuh-jatuhnya, dia juga telah membiarkan aku dan Rey berangkat sekolah dengan sepatu bolong, dengan uang saku yang hanya cukup untuk ongkos saja, itupun dari pinjaman tetangga yang merasa kasihan pada kami, bahkan tak jarang aku dan Rey terpaksa jalan kaki menempuh jarak yang lumayan jauh untuk bersekolah.
Sebelum menginjak usiaku yang ke 16, hidupku terasa sangat sempurna, kasih sayang utuh dari Ibu dan Ayah, perhatian yang selalu tersaji manis setiap hari, usaha Ayah yang melaju pesat dengan sikap dermawannya yang senang berbagi dengan siapapun atas hasil yang ia dapatkan, sikap yang sangat aku banggakan dari sosok Ayah yang aku miliki.
Namun semua hilang tepat di ulang tahunku yang ke 16, aku merasa ada yang tidak beres di rumah ini, Ibu dan Ayah jarang sekali memperlihatkan keharmonisan mereka di depanku juga Rey adikku. Bahkan kini Ayah sudah jarang pulang ke rumah, membiarkan kami menunggunya dalam kecemasan, membiarkan Ibu mondar-mandir mengetuk pintu tetangga hanya untuk meminjam 1 liter beras, membiarkan Ibu berjuang menghidupi kami. Kemana Ayah?
Setelah beberapa bulan tak pulang, akhirnya dia kembali, kembali dengan Ayah yang berbeda, aku merasa kasih sayang yang Ayah berikan pada kami sudah tak utuh lagi, bagai telah terbagi. Ayah pulang memberikan uang pada Ibu, lalu pergi lagi dalam waktu yang tidak sebentar. Hampir beberapa tahun berjalan dengan kisah yang sama, pulang hanya sekadar memberi uang yang tak bisa dikatakan cukup, lalu pergi kembali tanpa mencium kening Ibu, aku dan Rey seperti dulu yang selalu dilakukan Ayah ketika berangkat kerja. Ayah tidak mengerti, bukan hanya uang yang kami butuhkan, tapi kasih sayang dan perhatiannya seperti dululah yang sangat dirindukan di rumah ini.
******
Setelah lulus SMA aku semakin mengerti luka yang Ibu sembunyikan selama ini, jika dulu setiap kali aku bertanya kemana Ayah, jawabnya selalu urusan pekerjaan, namun semakin bertambahnya usiaku, aku mengerti, aku paham Ayah memang telah berubah. Kini aku tahu ternyata diluar sana Ayah merajut asmara dengan wanita selain Ibu. Hatiku hancur dengan seketika membenci sosok Ayah yang dulu aku banggakan.
Jika aku saja sedemikian hancurnya apa lagi Ibu yang telah mendampingi Ayah selama 20 tahun, menemani Ayah yang menikahinya sejak Ibu berusia 16 tahun, usia yang sangat belia, namun Ibu tak bisa menolak karena nenekku sudah tak ada saat Ibu berusia 16 tahun. Pilihan menerima pinangan Ayah juga tak terlepas dari pikiran agar ada  yang melindungi. Berusaha menumbuhkan cinta disetiap harinya dalam kehidupan rumah tangga yang mereka jalani, hingga cinta itu ada dan bersemai dengan indah menjadikanku ada dan Rey sebagai pelengkap kebahagiaan mereka. Kisah cinta yang indah dan sempurna.
Memasuki tahun ke 21 pernikahan Ibu dan Ayah, sikap Ayah mulai berubah seiring bertambah majunya usaha yang Ayah jalani. Keretakan itu justru terjadi di usia pernikahan mereka yang sudah tak bisa dikatakan muda.
Kini aku selalu berusaha menguatkan Ibu, memeluknya ketika Ibu butuh pelukan seorang suami, menghapus air mata Ibu ketika mulai membanjiri pipinya yang selalu aku kecup manja.
Banyak omongan miring tentang Ayah di luar sana, tersiar kabar jika Ayah telah menikahi wanita lain tanpa sepengetahuan kami. Saat Ibu mendengar kabar itu dari adiknya langsung, Ibu begitu lemah, seakan persendiannya terasa lumpuh.
Wanita yang dinikahi Ayah dimataku tidak lebih dari seorang wanita perebut suami orang yang kala itu memiliki jabatan tinggi dengan penghasilan besar. Wanita itu memang bohai, bodinya aduhai tapi aku sangat membencinya karena telah membuat Ibuku menderita … telah merebut kebahagian kami dengan melemparkan luka.
Aku mulai tak tahan dengan semua pemandangan yang terasa sadis ini, Ayah selalu membanding-bandingkan Ibu dengan wanitanya yang bohai nan aduhai itu, tidak kah Ayah berpikir siapa yang selama ini menemaninya sampai ia berteman sukses? Mungkin Ayah telah dibutakan dengan tipu daya dunia yang tersamarkan dalam kecantikan.
Sekian hari Ibu tenggelam dalam air mata yang selalu menjadi temannya selama beberapa tahun belakangan ini, akhirnya sebuah perpisahan menjadi pilihan ketika tak ada lagi yang bisa dipertahankan.
*****
Seolah terlepas dari beban yang mencengkram kini Ibu lebih bisa menerima apa yang telah terjadi, mencoba mengikhlaskan apa yang telah dimilikinya selama ini, mungkin Ayah hanya akan menjadi masa lalu Ibu yang tak akan pernah kembali.
Aku, Ibu, dan Rey tetap meneruskan hidup tanpa seorang Ayah disisi kami, lagi pula kini aku dan Rey telah cukup dewasa. Urusan makan tak lagi perlu kau hiraukan Ayah, aku dan Rey bisa menafkahi hidup kami sendiri juga Ibu.
Hingga tiba dimana aku menemukan cinta yang menyempurnakan hidupku, cinta yang hampir sama maknanya dengan cintaku terhadap Ibu, lelaki yang telah menjadi kekasihku dua tahun kebelakang meminangku, memintaku kepada Ibu untuk ia jadikan Istri. Aku terharu ketika mendengar calon suamiku meminta restu dari Ibu dan melamarku di depan keluarga besar kala itu meski merasa ada yang kurang karena Ayah tak ada tapi itu tidak akan merusak kebahagianku bersama Ibu dan keluarga yang lain.
H-2 pernikahan, Aku mendekat pada Ibu yang terlihat merenung sendiri, aku tanya kenapa. Beliau memelukku dan tak aku sangka setitik air jernih turun melintasi garis pipi Ibu, seolah Ibu tak ingin melepasku, akupun ikut menangis kala itu.
“Ibu tak usah khawatir, setelah menikah nanti, Ibu ikut denganku”.
*****
Tiba saatnya hari dimana Ijab dan Qabul akan disenandungkan. Ijab? Haruskah Ayah yang mengucapkannya? Iya, dia memang tetap harus menjadi wali dalam pernikahanku walau aku tahu ini tidak akan mudah bagi Ibu, ketika melihat laki-laki yang telah membuatnya hancur hadir kembali di hadapannya. Tapi Ibu tetap berbesar hati.
Ayah datang. Dia mengenakan batik serupa dengan wanita bohai itu dan kedua  anak perempuannya. Ya Tuhan … dia datang bersama keluarga barunya di pernikahanku, hatiku sakit melihat ini seolah masih tak bisa terima jika semua telah terjadi. Sebetulnya aku dan Ibu mungkin telah mengikhlaskan tapi ketika Ayah muncul bersama wanita yang menghancurkan keluarga kami rasanya sakit itu kembali hadir, kembali menusuk-nusuk jantungku apalagi Ibu.
Ayah berhasil membuat tangis yang tak seharusnya ada di hari pernikahanku. Namun saat itu Aku tidak terlalu peduli, lagi pula ini harus menjadi hari bahagiaku tapi bagaimana dengan Ibu? Apa Ibu sanggup melihat ini? Aku tak bisa bayangkan itu.
Selama Ijab dan Qabul berlangsung, ternyata wanita itu cukup tahu diri dengan tidak ada dihadapan keluarga besar kami terlebih Ibu, Syukurlah Ijab dan Qabul telah berlangsung, Ibu? Ibu terlihat menahan tangis, Ayah dan Ibu hanya saling memandang tak begitu lama tanpa bersuara. Memang tidak ada cinta lagi diantara keduanya, yang tersisa hanya luka.
Wanita itu? Wanita itu terlihat bernyanyi dan bergoyang diatas panggung hiburanku, dia bernyanyi ditemani Ayah di sampingnya. Apa wanita itu tidak berpikir jika ini adalah pernikahanku? pernikahan anak dari lelaki yang ia telah rebut dari Ibuku, apa Ayah dan wanita itu tidak berpikir bagaimana perasaan Ibu melihat mereka bermesraan di atas panggung kebahagianku?
Ibu sudah tak nampak dalam acara bahagiaku, rupanya ia mengurung diri di kamar, menangis dalam kesendiriannya. Aku bisa mengerti apa yang Ibu rasakan saat itu hanya saja aku harus tetap berada di pelaminan menghargai tamu yang terus berdatangan.
Rasanya ingin aku usir saja mereka dari sini, tapi tidak mungkin aku telah dengan manis mengenakan kebaya putih ini, dan harus tetap menabur senyum pada mereka yang datang.
Bisik-bisik yang aku dengar dari sebagian tamu undangan yang merupakan tetanggaku tak aku hiraukan “dasar wanita tidak tahu diri, bisa-bisanya dia berlenggok-lenggok di pernikahan Nak Sasmi..” bisik seseorang pada temannya saat mengantri untuk menyalamiku.
*****
Semua telah berlalu, kini aku menikmati peranku sebagai seorang istri juga sebagai seorang Ibu. Suamiku membuka usaha konfeksi dan kami menjalankannya bersama, kini aku telah memiliki seorang  jagoan berusia 6 tahun dan putri kecil berusia 2 tahun, begitu pula dengan Ibu yang telah bisa terbiasa tanpa Ayah dan menikmati perannya sebagai seorang nenek yang begitu mencintai cucunya
*****
Beberapa tahun kemudian.
Aku dengar jika usaha Ayah mengalami kemerosotan, tapi aku tak begitu menghiraukannya, walau terbesit sedikit rasa iba. Bukankah ada keluarga yang selalu ia banggakan? aku rasa mereka sudah cukup bagi Ayah. 
Tapi, ternyata semua tak seperti yang aku pikir, wanita yang dulu bohai dan aduhai itu kini menjadi seorang TKW jauh dari segala kemewahan. Tinggallah Ayah dengan anak-anaknya dari wanita itu, mengurus mereka sendiri tanpa seorang istri. Yang aku tahu, anak bungsu Ayah tak jauh beda usianya dengan putra pertamaku sekitar 6 tahun. Di usianya yang tak lagi muda Ayah harus merawat tiga anaknya sendiri, kasihan rasanya namun ini sudah menjadi pilihannya yang tak bisa ditawar lagi.
Akhir-akhir ini Ayah sering mengunjungiku, sekadar meminta uang untuk beli susu anaknya, aku gregetan sendiri pada Ayah, coba saja dulu Ayah tak menikah lagi mungkin dia tak akan repot mengurus anaknya yang masih kecil ini. Ayah lebih cocok menjadi seorang Kakek, pakaian yang selalu membuatnya terlihat gagah kini tak terlihat Ayah datang hanya dengan kaos oblong nan kusut sambil memangku putri kecilnya. Kasihan, walau bagaimanapun dia tetap Ayahku.
Aku selalu mempersilahkannya makan dan membekali Ayah uang ketika ia pulang, sering kali ketika Ayah datang kerumahku Ibu selalu sembunyi tak menunjukan rupanya pada Ayah. Sepertinya luka di hati Ibu masih ada walau ia telah memaafkan. Memaafkan bukan berarti melupakan.
Selang bulan aku mendapat kabar lagi dari pamanku, jika istri Ayah telah pulang namun dia meminta cerai pada Ayah, dengan alasan uang. Uang kiriman selama wanita itu menjadi TKW telah Ayah habiskan entah kemana, mungkin dihabiskan dengan wanita yang lebih aduai,  lihatlah! Inikah wanita yang selalu kau banggakan Ayah?
Usia Ayah tak lagi muda, dia sakit-sakitan dan tak ada yang merawat. Kemana Ayah kembali? Jelas kepada kami, kepada aku, Rey dan Ibu. Tapi Ibu menolak untuk kembali bersama.
Aku peduli pada Ayah, aku sewakan sebuah kamar yang cukup luas untuk dia tempati tak jauh dari rumahku agar aku bisa merawat Ayah walau tak bisa seutuhnya karena menjaga perasaan Ibu. Hanya memberikan makanan 3 kali dalam sehari yang aku simpan di kamarnya lalu kuselipkan uang untuk Ayah meski tak seberapa.
Rupanya walau Ayah tak muda lagi, dia masih bisa berpolah layaknya remaja yang dimabuk asmara. Setiap hari uang yang aku berikan pada ayah dibelikan pulsa untuknya bertelepon dengan wanita-wanita yang entah siapa, entah wanita-wanita itu tahu atau tidak jika Ayah bukan lagi seorang milyarder. Aku tidak tahu.
Ayah masih memiliki cinta? Cinta yang ingin dia bawa kepelaminan. Dia meminta untuk dinikahkan dengan janda pilihannya yang sama-sama tak lagi muda itu, Oh Tuhan … apa ini? Tapi biarlah Ayah menikah lagi dan tinggal bersama janda itu agar tak merepotkanku juga Rey, pikirku kala itu. Lagi pula Ayah memaksa dan merajuk pada kami. 
Akhirnya Aku dan Rey mengabulkan permintaan Ayah walau sedikit malu dengan tetangga yang mengantar, masa iya sudah tua sakit-sakitan pula masih ingin menikah saja. Bukannya mendekat pada Tuhan dan taubat.
Aku dan Rey pun melamarkan janda tua itu untuk Ayah, dan singkat cerita merekapun hidup bersama.
*****
Hanya bertahan satu bulan, akhirnya Ayah kembali. Kembali pada siapa? Kepada siapa lagi jika bukan pada kami, keluarga yang telah dia sia-siakan.
Aku lelah dengan sikap Ayah yang tak berubah walau telah tua. Dia kembali menempati kamar yang di sewakan untuknya.
Kini dia kembali sakit-sakitan, tak jarang aku memanggil Rey yang juga telah berkeluarga untuk sama-sama membawa Ayah ke rumah sakit. Penyakit orang yang sudah tak muda lagi, sudah biasa. Kondisi Ayah mulai melemah bahkan kini Ayah hanya bisa terbaring di tempat tidur menungguku membawakan sarapan.
Dengan sabar aku merawat Ayah walau kadang jengkel ketika ingat yang lalu-lalu. Tapi aku tak mau jadi anak durhaka, aku tetap menjalankan kewajibanku merawat Ayah, begitu pula dengan Rey.
Kian hari Ayah semakin melemah dan payah. Hari kehari pula Ayah semakin manja aku rasa, jika aku telat datang dia memarahiku dan mencaciku anak durhaka yang membiarkan Ayahnya yang sakit kelaparan padahal hanya telat  beberapa menit saja. Lagi pula aku punya anak kecil yang harus aku urus segala persiapannya dipagi hari sebelum mereka sekolah. Tak jarang piring-piring plastik dan gelas berantakan dimana-mana sengaja Ayah lempar-lemparkan kala menungguku datang, Ayah tak ayal seperti anak kecil saja kini … memang benar ketika tua seseorang akan balik ke balita, itu yang ada di pikiranku.
Ayah benar-benar hanya bisa terbaring walau tangannya masih bisa digerakan untuk melemparkan piring dan gelas. Bahkan buang hajat pun kini di tempat pembaringannya, mandipun kini aku dan Rey yang memandikan.
Aku manusia biasa tak jarang jika setan menang mempengaruhi aku selalu menggerutu sendiri, menyalahkan Ayah, memarahi Ayah, walau itu hanya aku gumamkan dalam hati.
*****
Suatu ketika saat aku hendak membawakan makan malam untuk Ayah, sebelum mengetuk pintu kamarnya aku melihat Ayah dibalik jendela yang sedikit terbuka lantas aku perhatikan gerak-gerik Ayah. Dia memang terbaring lemah dan tak ada yang bisa dilakukan selain terbaring. Namun beberapa saat kemudian aku melihat Ayah terbangun dan duduk memandangi ke arah luar dengan tangan yang bisa ia gerakan, dia tak benar-benar sakit parah.
Ayah telah membohongi kami, gumamku dalam hati. Ketika aku membuka pintu, dengan segera Ayah menjatuhkan tubunya ke kasur … lelucon macam apa ini? Aku memasang wajah jengkel, aku marahi Ayah tak lagi dalam hati, aku keluarkan semua uneuk-uneuk walau aku mengatakannya dengan derai tangis karena sadar ini adalah perbuatan yang salah.
Bagaimanapun seorang anak tetaplah berkewajiban merawat orang tuanya dan menyayangi dia apapun yang terjadi, harus sabar merawatnya sebagaimana dia merawatku dan menyayangiku waktu kecil. Tapi aku manusia biasa yang bisa saja khilap dan emosi lagi pula Ayah telah membohongi kami untuk kesekian kalinya bahkan kini Ayah membohongi kami perihal sakitnya.
Aku tinggalkan Ayah dengan perasaan kecewa karena kebohongan yang ia lakukan untuk kesekian kali. Aku berniat menyuapi ayah dengan makanan yang aku bawa namun kini kutinggalkan saja disamping Ayah sambil melengos pergi toh Ayah bisa menggerakan tangannya sendiri untuk makan.
Aku menangis menceritakan semua pada Ibu, Ibu juga seperti menahan tangis, namun Ibu sudah tidak berkewajiban merawat Ayah. Lagi pula kini Ibu bukan lagi mahram bagi Ayah. Tapi tahukah? Ibu lah yang selalu menyediakan makanan untuk Ayah setiap hari selama Ayah sakit lantas memberikan makanan yang telah disiapkan ibu dan menyuapi ayah menjadi bagian dari tugasku. Selain memberi makan, aku dan Rey gantian memandikan Ayah karena tak mungkin pula Ibu membantu … haram hukumnya.
Esoknya ketika hendak memandikan ayah sekitar jam 05.00 subuh, kondisinya benar-benar melemah, benarkah ini? sedang tidak bersandiwarakah Ayah? Namun kenyataannya dia terlihat tidak sedang bersandiwara.  Aku memanggil beberapa tetangga dan minta bantuan atas Ayah.
Singkat kata Pamanku - adiknya Ibu terlihat melantunkan ayat-ayat suci di samping ayah, nafas Ayah mulai melemah dia sedang menghadapi syakaratul mautnya. Kini tak ada lagi kata yang keluar dari mulut Ayah, nafas Ayah terdengar sudah tak wajar detak jantungnya melemah … ada setitik air yang jatuh di sudut mata Ayah.
Saat ini Ibu ada bersama kami duduk di samping Ayah, ikut melantunkan ayat-ayat suci. Ibu menangis dalam lantunan dzikirnya, Ibu minta maaf  pada Ayah Ayahpun membalas tatapan dan ucapan Ibu dengan tarikan nafas tersengal-sengal diiringi titik air mata yang jatuh kembali dari pelupuk mata Ayah.
Tokoh agama yang pada saat itu juga ada mengatakan mungkin ada sesuatu yang masih ditunggu Ayah hingga mempersulit dia melewati syakaratul mautnya.
Kata terakhir yang aku dengar secara terbata dari Ayah ialah “ M I R N A” Ayah menyebutkan sebuah nama yang aku tahu itu adalah nama anak bungsunya dari wanita yang telah menceraikan Ayah.
Rey segera mendatangi kediaman Mirna dan Ibunya juga anak-anak Ayah yang lain dari wanita itu.
Adikku kembali namun tanpa mereka. Tanpa Mirna ataupun wanita itu.
"Ibunya tak mengizinkan Mirna dibawa kesini dan anak pertama Ayahpun tak mau datang. sudah aku jelaskan jika kini keadaan Ayah sudah sangat darurat dan sangat membutuhkan mereka disini" begitu tutur Rey kala kembali dengan tangan kosong.
Mereka tak datang hingga Ayah menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 09.00 pagi.
Aku menyesal karena sempat memarahi Ayah sebelum pada akhirnya dia meninggal, aku menyesal kenapa tidak aku suapi dia di makan malam terakhirnya, aku menyesal karena aku berpikir jika Ayah hanya pura-pura sakit.
Setelah Ayah dimandikan dan dikafani, aku kabari keluarga Ayah yang subuh tadi tak mau datang. Aku katakan jika Ayah telah wafat.
Selang beberapa Jam sekitar jam 11.00 pagi mereka datang ke rumahku.
Tangis tak terbendung ketika melihat seorang putri kecil berlari dan memeluk Ayah yang sudah dikafani dengan kain yang menutupinya. Gadis kecil itu berteriak dalam tangis “Bapak.... Mirna ada disini, Mirna minta maaf sama Bapak. Bapak bangun! …” ucap gadis kecil yang ternyata adalah Mirna.
Wanita yang tak lain adalah Ibunya ikut menangis disusul dengan Anak pertama Ayah yang langsung tak sadarkan diri melihat Ayah yang tidak ditemuinya subuh tadi kini telah terkujur kaku tak bernyawa.
Si gadis kecil terlihat ngambek pada wanita itu, “Gara-gara Mamah tak mengizinkanku ikut bersama Abang Rey tadi pagi menemui Bapak, jadi sekarang Bapak meninggal. Ini semua gara-gara Mamah” gadis kecil yang polos, aku menghampiri dan memeluknya dengan berkata dalam hati “kamu adikku”.
Aku melihat Ibu yang juga berusaha menenangkan wanita yang menjadi madunya itu.
“Maafkan aku Mbak, aku kira keadaannya tidak separah ini” ucap wanita itu memecah tangis.
“Sudahlah, kita doakan yang terbaik saja”
“Aku mohon maafkan aku atas kesalahan yang pernah aku perbuat pada keluarga Mbak”
“Semua sudah berlalu tak usah kau sesali, aku telah memaafkanmu. Aku juga minta maaf bila ada salah, sekarang kita doakan saja beliau tenang di sisinya”
*****
Semua telah berlalu. Ayah telah mengakhiri petualangannya di bumi dan kembali pada Sang Pencipta. Semoga Ayah damai disana.
~~~~~~
·   Harta, tahta, dan wanita memang selalu menjadi kelemahan bagi kaum laki-laki. Jangan mudah tertipu daya topeng dunia yang tersamarkan dalam kecantikan.
·    Ingatlah wanita yang telah menemani ketika susah, menyiapkan sarapan setiap pagi, merapihkan pakaian ketika hendak berangkat kerja dan mendampingi disetiap waktu hingga sukses digenggaman.
·      Laki-laki bisa sukses karena wanita namun laki-lakipun bisa hancur karena wanita.
·  Tetaplah menjadi layaknya seorang anak yang harus berbakti kepada kedua orang tua walau bagaimanapun mereka, jangan sampai penyesalan menyapamu.
·     Seburuk apapun orang tua tetaplah mereka harus dihormati dan disayangi dengan sabar seperti mereka yang telah merawat kita dengan penuh kesabaran disaat kita masih kecil.
·      Mengikhlaskan memang tak mudah tapi dengan keikhlasan semua beban terasa ringan.
·    Dan yang terakhir silahkan simpulkan sendiri pesan yang terkandung dalam kisah yang benar-benar ada disekitar kita ini.
Semoga ada pesan yang dapat dipetik dari kisah di atas yang terinspirasi dari real story. Semoga menjadi pengingat untuk kita semua bahwa dunia ini hanya sementara. Jika ada penokohan yang kurang terpuji mohon dimaafkan dan jangan diikuti … jadikanlah sebagai contoh agar tak mengikuti.


Komentar

  1. nice share :)
    berbeda dengan ku yg d tinggalkan saat usia 10 tahun hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESEPSI!!! What the hell?

Ramadhan ke 2

Dari Khalisa Untuk Ayah